Tanggal :19 April 2024

Rilis Pers Survei OJK

RILIS PERS

Survei Citiasia: Kinerja OJK Belum Memuaskan

 

Jakarta, 28 Januari 2020. Rilis S&P Global Rating menunjukkan, industri perbankan Indonesia dianggap memiliki risiko yang relatif tinggi dibanding beberapa negara di kawasan Asia Pasifik. Risiko tersebut diukur dari persepsi terhadap risiko ekonomi dan risiko industri. Kasus – kasus yang mencuat di industri keuangan nasional belakangan mencerminkan tingginya kerentanan industri keuangan di Tanah Air.

Kondisi tersebut pula yang membuat peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dipertanyakan. Sebab, bicara tentang pengelolaan risiko industri keuangan, peran sentral OJK dalam tatakelola industri keuangan nasional tidak bisa dilepaskan.

Karena itulah, Citiasia bersama Majalah Infobank berinisiatif melakukan studi untuk mengetahui persepsi stakeholder terhadap peran, kinerja, dan sinergi OJK dalam pengelolaan risiko industri keuangan nasional. Harapannya, studi ini dapat memberi sumbangan pemikiran untuk penguatan industri keuangan nasional ke depan.

Survei yang bersifat kualitatif dan kuantitatif ini dilakukan pada periode 28 November sampai dengan 11 Desember 2019.  Sebanyak 184 responden (praktisi industri keuangan, dengan posisi setingkat manajer ke atas) dari  114 institusi jasa keuangan, baik perbankan, asuransi, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa pembiayaan khusus.

Aspek yang dievaluasi mengacu pada tiga tujuan utama dibentuknya OJK sesuai UU No.21 Th. 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pertama, terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel. Kedua,  terwujudnya sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Ketiga, serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Indikator kinerja yang digunakan dalam penilaian persepsi adalah turunan dari ketiga tujuan utama tersebut, yang dirangkum ke dalam lima dimensi utama: pengaturan dan pengawasan dalam hal kelembagaan, kesehatan, kehati hatian, pemeriksaan, dan perlindungan konsumen.

Berikut temuan-temuan utama survei:

  • Dalam hal pengaturan dan pengawasan kelembagaan, sekitar separuh responden dari perbankan (53.3%) dan lembaga pembiayaan (55.6%) yang menilai OJK sudah berkinerja maksimal, ini lebih rendah dibandingkan responden industri asuransi (67.4%) dan praktisi jasa keuangan khusus (75.5%) yang sudah menganggap kinerja OJK cukup baik.   

Para praktisi lembaga keuangan menilai kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan OJK tidak maksimal karena persepsi bahwa OJK mempersempit pengembangan dan ruang inovasi industri keuangan. Keluwesan dalam balancing antara pengelolaan risiko dan pengembangan industri, serta keberlanjutan usaha dirasakan masih kurang mendapatkan perhatian dalam regulasi dan implementasi fungsi ini. Praktisi perbankan juga menyoroti belum jelasnya arah pengembangan industri, lemahnya penguatan pemahaman bisnis dan teknis regulator, serta belum maksimalnya peran mediasi dan edukasi regulator bagi pemegang saham.

  • Terkait fungsi pengaturan dan pengawasan kesehatan lembaga keuangan, separuh praktisi kelompok perbankan (55.0%), dan tiga dari lima praktisi asuransi (63.0%), lembaga pembiayaan (59.3%), lembaga jasa keuangan khusus (61.2%) menganggap OJK memiliki kinerja baik.

Kurangnya daya saing dan efisiensi menjadi faktor yang berpengaruh dominan terhadap persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan kesehatan. Persaingan sehat dan keberlanjutan usaha dirasakan para praktisi belum mendapatkan porsi perhatian memadai dalam beleid yang dikeluarkan dan dilaksanakan oleh OJK.

  • Sedangkan untuk fungsi pengaturan dan pengawasan kehati-hatian lembaga keuangan, performa OJK dianggap lebih baik dibanding dua aspek sebelumnya. Sekurangnya tiga dari lima praktisi kelompok perbankan (58.3%) dan asuransi (63.0%), serta tiga dari empat praktisi kelompok lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan khusus (74.1% dan 75.5%) mengakui OJK berkinerja baik.

Aturan dan pengawasan terhadap tata kelola dan keamanan teknologi informasi lembaga keuangan berpengaruh kuat terhadap persepsi performa OJK dalam pengaturan dan pengawasan kehati-hatian. Kalangan lembaga pembiayaan menyoroti pentingnya kolaborasi dengan asosiasi guna meningkatkan kemampuan manajemen risiko. Sementara kalangan perbankan memandang perlunya sistem pengawasan yang mampu mendeteksi adanya penyimpangan.

  • Pada fungsi pemeriksaan, separuh praktisi lembaga pembiayaan (51.9%) dan sekitar tiga perlima praktisi perbankan (58.3%), asuransi (63.0%), dan lembaga jasa keuangan khusus (63.3%) berpendapat kinerja pemeriksaan OJK telah berjalan dengan baik. Konsistensi dan kompetensi pengawas menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap persepsi kinerja pemeriksaan. Kebanyakan praktisi cenderung mengidentikkan kompetensi dengan penguasaan terhadap aspek bisnis dan lingkungan bisnis industri. Lemahnya kompetensi ini dipersepsikan berpengaruh terhadap konsistensi, obyektifitas, serta kemampuan balancing risiko dengan inovasi dari para pengawas.
  • Terkait fungsi perlindungan konsumen, OJK dipandang memiliki performa baik oleh separuh (53.2%) praktisi perbankan, dan sekitar tiga perlima praktisi asuransi (58.7%), lembaga pembiayaan (63.3%), serta lembaga jasa keuangan khusus (63.3%). Tata cara penyelesaian masalah, mediasi sengketa konsumen, dan transparansi risiko produk berpengaruh kuat terhadap persepsi kinerja perlindungan konsumen. Sosialisasi dan edukasi sebagai langkah preventif dipandang masih kurang optimal oleh kelompok perbankan. Bagi kelompok asuransi, komunikasi yang jelas dan intensif, serta keberpihakan terhadap nasabah menjadi hal yang dirasa perlu diperkuat dalam perlindungan nasabah.

Sementara untuk kelompok lembaga pembiayaan, kejelasan mekanisme perlindungan nasabah, porsi perhatian yang berimbang kepada perusahaan pembiayaan, dan kolaborasi dengan asosiasi menjadi hal yang perlu mendapat atensi. Sementara bagi kelompok lembaga jasa keuangan khusus, sosialisasi dan edukasi yang intensif dipandang penting dalam upaya preventif, sementara kejelasan proses recovery dipandang penting dalam upaya kuratif.

  • Indeks kinerja OJK secara keseluruhan mencapai 59.3%. Secara komposit, indeks persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan secara keseluruhan mencapai 63.2%, pengaturan dan pengawasan kesehatan 59.3%, pengaturan dan pengawasan kehati – hatian 66.5%, pemeriksaan 59.9%, dan perlindungan konsumen 58.8%.

Jika dilihat dari kelompok industri, lembaga pembiayaan memiliki indeks persepsi kinerja OJK keseluruhan terendah (51.9%), diikuti kelompok perbankan (55.0%), lembaga jasa keuangan khusus (63.3%) dan kelompok asuransi (65.2%).

  • Alokasi iuran ke OJK dianggap belum berdampak nyata dan positif. Menariknya, berkaitan iuran yang dibebankan OJK, kelompok perbankan memiliki porsi yang berkeberatan paling tinggi (53.3%) dibanding kelompok lainnya (asuransi 37%, lembaga pembiayaan 37%, dan lembaga keuangan khusus 49%). Alokasi yang dirasa belum berdampak nyata dan positif menjadi alasan utama mereka yang keberatan dengan iuran OJK. Ketika dibandingkan dengan pengawasan BI terhadap perbankan di masa sebelumnya, bankir yang setuju sedikit lebih banyak (55%) dibanding bankir yang tidak setuju (45%).
  • Diantara kelima tugas utamanya, perbaikan kinerja di bidang pengaturan dan pengawasan kesehatan serta pemeriksaan seyogyanya menjadi prioritas OJK diikuti dengan kinerja perlindungan konsumen. Masih lemahnya penguasaan aspek dan lingkungan bisnis industri berkontribusi terhadap lemahnya kompetensi dan konsistensi pengawas, serta kemampuan pengawas dalam menciptakan keseimbangan antara pengelolaan risiko dan pengembangan industri. Hal ini juga ditengarai mengakibatkan relatif lemahnya mekanisme sistem dalam mendeteksi potensi penyimpangan yang dapat merugikan konsumen. Sementara edukasi dan sosialisasi sebagai upaya preventif yang dipandang masih kurang intensif, turut meningkatkan risiko bagi konsumen. Absennya road map pengembangan industri keuangan menyebabkan upaya pengembangan industri masih dirasakan belum terstruktur, cenderung reaktif, dan belum mendapatkan porsi yang memadai.

Rekomendasi dari survei ini adalah perbaikan dan pengembangan industri yang dibarengi dengan pengelolaan risiko yang berimbang. Hal ini bisa dilakukan salah satunya dengan membentuk Dewan Pengawas OJK yang mampu menampung, menyuarakan, dan mensinergikan kepentingan para pemangku kepentingan industri. Sehingga desain road map, proses transformasi, dan monitoring industri keuangan nasional dapat dilakukan secara lebih cepat dan efektif.

Atas hasil survei ini, Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, rendahnya peran pengawasan OJK dan saran agar peran OJK dikembalikan lagi ke Bank Indonesia (BI) menjadi masukan paling fundamental. “Banyaknya celah pengawasan dan penyelesaian sengketa perlu perbaikan,” katanya.

Bhima menambahkan, setidaknya  ada tiga rekomendasi yang perlu dilakukan OJK. Pertama, menambah SDM pengawasan khususnya di industri keuangan non bank (asuransi dan lembaga pembiayaan). Kedua, OJK perlu mengefektifkan anggarannya, dengan cara misalnya menunda rencana pembangunan gedung dan menambah  alokasi anggaran perlindungan nasabah. Dan yang ketiga, OJK perlu melakukan pengawasan ke pasar modal, khususnya saham-saham kapitalisasi kecil dan IPO, sehingga jumlah saham gorengan bisa ditekan.

***

Untuk keterangan lebih lanjut terkait survei ini, silakan menghubungi:

Achmad Yunianto (Citiasia Inc)

Email: [email protected]

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »