Tanggal :28 March 2024

Quo Vadis Ekonomi Indonesia 2019-2024: Melesat Atau Kandas?

Oleh Farid Subkhan: Founder Citiasia Center for Smart Nation (CCSN) & Dosen Perbanas Institute Jakarta

SUDAH satu hari kita lalui pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR-MPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten untuk periode 2019-2024. Berjuta asa dan panjatan do’a bagi bangsa ini agar menjadi lebih baik, adil, makmur, aman dan sejahtera. Baldatun toyibatun wa robbun ghofur.

Sambil menunggu pengumuman resmi dari KPU, saya mengucapkan selamat kepada calon Presiden dan Wakil Presiden serta para calon wakil rakyat terpilih pada pemilu tahun 2019.

Tulisan ini bermaksud mempertanyakan arah ekonomi Indonesia kedepan pasca Pilpres 2019. Apakah arah ekonomi benar-benar akan menuju kemajuan sebagaimana yang kita cita-citakan bersama? Tentu kita tidak sabar jika harus menunggu jawabannya di tahun 2024.

Tulisan ini saya buat ditengah kegelisahan saya ketika mengajar mahasiswa untuk mata kuliah Ekonomi Pembangunan, Ekonomi Moneter, dan Strategi Pemasaran. Ada tiga pertanyaan yang menggelitik saya. Pertama kemana arah pembangunan ekonomi Indonesia? Kedua apa yang menjadi fokus pembangunan ekonomi Indonesia? Ketiga bagaimana upaya branding dan PR pemerintah untuk membangun reputasi dan menarik potensi investasi, perdagangan, dan pariwisata?

Pertama, terkait dengan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Jika kembali pada tujuan dasar ekonomi, semua negara selalu ingin mengejar pertumbuhan. Apalagi untuk Indonesia yang masih pada tahapan awal berkembang. Perjalanan menjadi negara maju masih sangat panjang. Namun jika kita tidak membangun pondasi yang tepat. Mimpi menjadi negara maju akan kandas ditengah jalan.

Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Harus ada keselarasan antara arah kebijakan fiskal pemerintah dan kebijakan moneter Bank Indonesia. Siapapun presiden terpilih, saya yakin pasti menginginkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi untuk mengejar kemakmuran.

Sejak era reformasi, mengapa pertumbuhan ekonomi stagnan? Tepat satu tahun setelah krisis moneter 1999, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,92% (2000), tahun 2005 sebesar 5,69%, tahun 2010 sebesar 6,22%, tahun 2015 sebesar 4,88% dan pada tahun 2018 sebesar 5,17%.

Pada masa Orde Baru, sejarah mencatat ekonomi Indonesia pernah tumbuh 10,92% pada tahun 1968; 9,88% pada tahun 1980; 8,22% pada tahun 1995; 7,82% pada tahun 1996 sebelum akhirnya terpuruk pada tahun 1998 karena krisis finansial.

Keterpurukan pada tahun 1999 terutama terjadi karena pondasi sistem tata kelola keuangan yang rapuh, lemahnya sistem monitoring perbankan dan lembaga keuangan, praktik pembiayaan yang kurang prudent hingga praktik nepotisme berlebihan. Ditambah dengan penggunaan hutang luar negeri yang tidak terkelola dengan baik untuk menutupi defisit APBN hingga hutang swasta ke luar negeri yang tidak terkontrol.

Krisis ekonomi 1999 bak petir yang menyambar bangsa Indonesia di siang bolong. Akibatnya, ekonom, pemerintah, DPR hingga Bank Indonesia sebagai pelaksana kebijakan moneter benar-benar traumatis. Mimpi Orde Baru menjadi tinggal landas di tahun 1999 benar-benar hanya tinggal di landasan. Akhirnya para pembuat dan pelaksana kebijakan moneter di republik ini lebih memilih untuk mengejar stabilitas – melalui pengendalian inflasi, ketimbang mengejar pertumbuhan ekonomi.

Benarkah mazhab kebijakan moneter ini sudah tepat untuk Indonesia? Haruskah kita mengubur mimpi menjadi negara maju melalui pertumbuhan ekonomi yang signifikan? Terlalu mahal harga yang dipertaruhkan untuk anak cucu bangsa ini jika pertumbuhan ekonomi stagnan.

Kita harus berani mengubah arah kebijakan moneter saat ini. Dari mengejar target pengendalian inflasi menjadi mengejar target pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia (BI) harus berani mengambil kebijakan suku bunga yang ekspansif dan pro-investasi dalam negeri. Tujuannya untuk mendongkrak produksi, meningkatkan konsumsi masyarakat, mendongkrak ekspor, dan meningkatkan penerimaan pajak pemerintah. Meskipun BI merupakan lembaga yang independen, saya yakin hal ini dapat dilakukan melalui koordinasi yang baik antara Presiden dan Gubernur BI.

Bagaimana kalau terjadi risiko inflasi yang tidak terkendali? Data statistik menunjukkan bahwa inflasi tidak akan terjadi pada semua sektor industri secara bersamaan. BI bersama pemerintah dapat mengambil kebijakan yang bersifat sektoral pada industri yang mengalami inflasi yang membahayakan ekonomi.

Jangan justru dibalik. Gara-gara inflasi yang tinggi di satu-dua sektor industri – misalnya sektor properti dan otomitif, lantas semua sektor ekonomi harus ditekan pertumbuhannya oleh kebijakan moneter yang kontraktif secara keseluruhan. Akhirnya stagnasi ekonomi akan terjadi secara terus-menerus. Ekosistem iklim usaha menjadi tidak sehat, bahkan mengancam kebangkrutan beberapa pelaku usaha.

Saya tidak terlalu hawatir dengan kebijakan fiskal pemerintah dalam mengelola APBN. Meskipun pembangunan infrastruktur sering dikritik tidak memberikan insentif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun saya yakin hal ini bisa diatasi dalam perimbangan APBN kedepan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Kedua, terkait sektor yang menjadi fokus pembangunan ekonomi Indonesia. Pada masa Orde Baru, pola pembangunan ekonomi menerapkan teori Rostow mulai dari masyarakat tradisional, pra-tinggal landas, tinggal landas, tahap menuju kedewasaan, dan tahap konsumsi tinggi. Pada tahapan masyarakat tradisional, ciri khas struktur ekonomi masyarakat menitik-beratkan pada sektor pertanian (tahun 1969-1974).

Pembangunan sektor pertanian dengan target swa-sembada pangan telah berhasil dicapai oleh Orde Baru. Namun gagal mewujudkan tahap tinggal landas pada tahun 1999 – dengan ciri khas pertumbuhan yang sangat tinggi pada satu atau beberapa sektor industri.

Mengapa Orde Baru gagal mencapai tinggal landas? Padahal pada awal 1990-an, Indonesia bersama Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan disebut Bank Dunia sebagai Macan Asia. Selain Indonesia, negara-negara tersebut berhasil menjadi Macan Asia betulan. Mengapa tahapan menjadi negara maju gagal kita tiru dari negara maju seperti Amerika, Jepang, Jerman, Inggris, dan lain-lain?

Jawabannya karena struktur dasar ekonomi Indonesia berbeda dengan negara-negara tersebut. Indonesia tidak akan menjadi negara maju dengan strategi copy paste ala pertumbuhan ekonomi negara lain. Indonesia tidak mungkin mampu menyaingi Jepang dan Korea Selatan dalam kemajuan industri otomotif dan elektroniknya.

Indonesia juga tidak akan mampu menyaingi Singapura untuk industri jasanya dan menjadi hub ASEAN. Begitu juga Indonesia tidak akan mampu menyaingi Jerman untuk kualitas produk teknologinya. Maka lupakan saja strategi copy paste.

Sektor apa saja yang bisa menjadikan indonesia maju? Yakinlah bahwa Indonesia memiliki tiga sektor ekonomi yang tidak akan tertandingi oleh negara manapun jika dikembangkan.

Ketiga sektor tersebut adalah 1) sektor pertanian & peternakan, 2) sektor maritim & energi, 3) sektor pariwisata & industri kreatif.

Pada sektor pertanian dan peternakan, kebijakan strategis dan fiskal pemerintah harus didorong untuk menjadikan jutaan hektar lahan di Jawa dan luar Jawa kembali menghasilkan swasembada pangan dan produk peternakan yang unggul. Bahkan harus berorientasi pada pasar ekspor. Baik produk segar, frozen, olahan, hingga produk dalam kemasan.

Sebagai negara maritim, Indonesia harus menjadi negara yang mampu mengolah dan mengembangkan produk-produk maritimnya. Disamping itu Indonesia harus menjadi negara yang memiliki kemandirian energi yang berkelanjutan.

Adapun potensi pariwisata dan industri kreatif Indonesia tidak akan tertandingi oleh negara manapun. Bahkan seharusnya mampu menghasilkan devisa yang lebih tinggi dibandingkan Thailand dan Malaysia. Termasuk pada industri musik, film, dan hiburan yang perlu secara khusus diperhatikan oleh pemerintah dalam lima tahun kedepan.

Seluruh ekosistem hulu-hilir dan pilar pendukung ketiga sektor tersebut harus diperkuat untuk kemajuan ekonomi Indonesia. Mulai dari industri primer (produksi dan pengembangan), sekunder (penyimpanan & pengolahan), tersier (jasa dan perdagangan), quartener (riset & pengembangan), hingga industri quiner (teknologi dan digitalisasi).

Ketiga, setelah arah kebijakan moneter dan fiskal sudah on track, fokus pembangunan sudah tepat sektornya, langkah selanjutnya adalah membangun reputasi negara yang terpercaya untuk menarik investasi, perdagangan, dan pariwisata serta untuk mendapatkan dukungan publik yang optimal.

Yang ketiga ini jujur harus kita akui bahwa dari sejak era Orde Baru hingga kini country branding & public relation (PR) kita masih sangat lemah untuk negara sebesar Indonesia.

Negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, hingga Vietnam secara umum memiliki reputasi yang jauh lebih baik untuk menarik investasi, perdagangan, dan pariwisata dari berbagai negara di seluruh dunia.

Sepanjang tahun 2018 Thailand, Malaysia, dan Singapura secara berturut-turut berhasil menarik wisatawan mancanegara hingga 38,3 juta, 25,8 juta, dan 18,5 juta dibandingkan Indonesia sebesar 15,8 juta. Disamping itu, kinerja neraca perdagangan Indonesia secara umum juga masih kalah dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang mencatatkan surplus perdagangan luar negeri pada tahun 2018.

Kuncinya adalah membangun country branding & public relation yang efektif dan relevan dengan tren perubahan sistem dan teknologi komunikasi branding dan PR. Strategi branding dan PR yang tepat di era industri 4.0 menjadi kunci utama untuk membangun reputasi bangsa Indonesia untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat nasional dan internasional. Pada akhirnya, ketiga upaya tersebut diatas menjadi faktor penentu utama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju, sejahtera, dan bermartabat sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. (*)

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »